Saya tidak ingat bagaimana saya bisa menyukai buku. Orangtua saya tidak menyediakan buku bacaan di rumah, tetapi saya ternyata senang ke toko buku dan melihat — membaca buku-buku di sana. Saya suka membaca buku pelajaran kakak saya yang sudah SMP ketika saya masih SD. Saya berbinar-binar melihat betapa banyaknya buku di toko buku dan begitu gembiranya saya ada beberapa buku yang tidak dibungkus sehingga saya bisa menumpang membaca di sana. Itulah masa kecil saya yang agak berbeda dengan anak lain yang memiliki akses lebih dini pada buku bacaan.
Saya pun pernah ke pameran buku, melihat jajaran buku-buku dalam rak-rak tinggi, memandangi berbagai judul buku cerita, membuka dan membaca sebagian isinya. Lalu, membelinya? Tentu tidak, saya menaruhnya kembali karena tidak memiliki uang yang cukup untuk memborong semua buku yang saya suka. Saat di SMP dan SMA saya lumayan mendapat akses buku dari teman-teman saya yang memilikinya karena mereka dibelikan buku oleh orangtuanya. Jadilah, saya meminjam semua seri Harry Potter, berbagai judul teenlit dan beberapa buku nonfiksi, saya ingat betul, pernah pinjam buku 100 tokoh berpengaruh di dunia saat SMP. Alhamdulillah, circle pergaulan saya membawa saya semakin cinta membaca buku. Lalu, di SMA pun dapat kelas yang sepuluh langkah saja letaknya dari perpustakaan! Tentu saja saya lebih rajin ke perpus daripada kantin, wkwk.. aneka majalah sains, ensiklopedia dan novel terjemahan saya ambil di sana. Ternyata inilah yang menjadikan saya membaca buku hingga sekarang.
Memang saya tidak dibesarkan dengan keluarga yang sangat menjunjung tinggi budaya membaca tetapi saya tumbuh dan belajar di lingkungan yang membaca. Benarlah bahwa pembaca itu bukan dilahirkan melainkan dibuat, tak ada orang lahir akan suka membaca tetapi ketika ia tumbuh dan hidup bersama yang menyukai buku dan membaca, ia bisa menjadi pembaca juga.
Yona Primadesi dalam esainya, Bukan Sekedar Baca Tulis, menjelaskan dua acuan praktik literasi di seluruh dunia, yaitu Deklarasi Praha dan UNESCO. Literasi dalam Deklarasi Praha dirumuskan menjadi literasi informasi (information literacy) yang meliputi:
Saya sendiri baru mengerti hal ini setelah membaca esai tersebut beberapa hari kemarin. Bahwa memang gerakan literasi kita seharusnya bukan hanya mengajak orang untuk gemar membaca dan bebas buta aksara dan mengonsumsi buku bacaan yang selalu memenuhi rak toko-toko buku melainkan mendidik diri menjadi manusia pembelajar seumur hidup yang berdaya nalar dan mampu mengenal dan mengelola informasi. Ini menjadi pekerjaan rumah yang mungkin masih cukup jauh dari kata selesai. Saya pun kembali memikirkan proses literasi di rumah kami yang telah berjalan ini sepertinya belum masuk kriteria sesuai definisi UNESCO.
Agaknya terasa berat ya tugas meningkatkan kemampuan literasi ini? Benar, terlebih di kondisi masyarakat yang dominan berpendapat, ngapain sih baca buku? Hahaa.. Melihat orang membaca buku di tempat umum adalah suatu keganjilan bagi penduduk negeri ini. Belum lagi didukung oleh harga buku baru yang cenderung mengikuti inflasi ekonomi sehingga sebagian keluarga yang anggarannya terbatas memilih untuk tidak membeli buku. Hal ini memang menjadikan buku belum masuk daftar prioritas belanja keluarga.
Di hari buku nasional ini, harapan saya adalah semua pihak yang berperan meningkatkan kompetensi literasi mendefinisikan lagi apa itu masyarakat yang literat? Apakah sekedar beli buku; baca buku lalu tinggalkan buku dalam rak? Atau menjadikan mereka membaca; mengkaji isinya; memberikan pemberdayaan dan menghasilkan karya yang kembali lagi dapat meningkatkan nalar kritis atas informasi?
Mungkin para penerbit perlu memangkas ongkos produksi dan penyelenggara negara bisa mengambil celah dengan memberi subsidi. Hasilnya diharapkan harga buku dapat lebih terjangkau lagi dan akan memperluas distribusinya ke semua tempat. Belajar dari Korea Selatan yang ternyata saya tahu kenapa begitu banyak buku-buku Korea diterjemahkan sekarang ini. Itu semua termasuk bagian dari upaya pemerintahnya yang membuat pusat budaya literasi agar karya warganya dapat diterjemahkan dan disebarluaskan di seluruh dunia.
Saya mengutip sebuah artikel di media internasional tahun 2016, bahwa sekarang ini pemerintah Korea bukan hanya mendukung anak muda untuk membaca buku tetapi juga untuk orang di luar Korea untuk membaca karya mereka. Negara yang berambisi memiliki pemenang nobel literasi ini begitu semangat memberikan dana untuk penerjemahan sebab syarat menjadi pemenang nobel literasi adalah karya yang bisa dibaca panitianya.
Memang agak sulit dan terlalu jauh kalau jadi pemenang nobel literasi ya, tetapi tidak apa-apa masyarakat pasti dukung negerinya kalau punya visi yang sama, buktinya Korea Selatan. Karya pengarang asal Korea sudah mendapat penghargaan Man Booker Prize dan ALMA Awards. Ini menjadi bukti bahwa upaya membuat literasi bukan sekedar baca, tetapi membaca bacaan yang bagus sehingga bisa menghasilkan karya yang diakui dunia.
Jadi, marilah kita semangat lagi meningkatkan kompetensi literasi masyarakat Indonesia di hari Buku Nasional 2023. Semoga buku mudah diakses siapapun dan bolehlah coba penerbit buku berkumpul bersama dan membuat cetakan versi e-reader agar bisa dijangkau pembaca bahasa Indonesia di seluruh dunia, ahaha (curcol seorang yang tak bisa baca buku terbitan Indonesia di e-reader). Ini hanya sekedar curahan hati pribadi yang kok rasa-rasanya jadi semacam esai! Wkwk...
Photo by Ishaq Robin on Unsplash |
Saya pun pernah ke pameran buku, melihat jajaran buku-buku dalam rak-rak tinggi, memandangi berbagai judul buku cerita, membuka dan membaca sebagian isinya. Lalu, membelinya? Tentu tidak, saya menaruhnya kembali karena tidak memiliki uang yang cukup untuk memborong semua buku yang saya suka. Saat di SMP dan SMA saya lumayan mendapat akses buku dari teman-teman saya yang memilikinya karena mereka dibelikan buku oleh orangtuanya. Jadilah, saya meminjam semua seri Harry Potter, berbagai judul teenlit dan beberapa buku nonfiksi, saya ingat betul, pernah pinjam buku 100 tokoh berpengaruh di dunia saat SMP. Alhamdulillah, circle pergaulan saya membawa saya semakin cinta membaca buku. Lalu, di SMA pun dapat kelas yang sepuluh langkah saja letaknya dari perpustakaan! Tentu saja saya lebih rajin ke perpus daripada kantin, wkwk.. aneka majalah sains, ensiklopedia dan novel terjemahan saya ambil di sana. Ternyata inilah yang menjadikan saya membaca buku hingga sekarang.
Baca Juga: Hari Buku Sedunia
Memang saya tidak dibesarkan dengan keluarga yang sangat menjunjung tinggi budaya membaca tetapi saya tumbuh dan belajar di lingkungan yang membaca. Benarlah bahwa pembaca itu bukan dilahirkan melainkan dibuat, tak ada orang lahir akan suka membaca tetapi ketika ia tumbuh dan hidup bersama yang menyukai buku dan membaca, ia bisa menjadi pembaca juga.
Di hari buku nasional tanggal 17 Mei 2023 ini saya hanya ingin merefleksikan diri sebagai pembaca dan orangtua yang membaca. Bagaimana kita ingin anak-anak cinta membaca jika kita sendiri tidak mencintai membaca buku? Amat buruk jika kita komando anak-anak agar membaca buku, kita sediakan buku-buku sejak usia bayi, lalu kita sendiri tidak membaca. Perkara membaca literasi bukan hanya sekedar ada buku, dibaca sudah selesai dan berlalu begitu saja.
Yona Primadesi dalam esainya, Bukan Sekedar Baca Tulis, menjelaskan dua acuan praktik literasi di seluruh dunia, yaitu Deklarasi Praha dan UNESCO. Literasi dalam Deklarasi Praha dirumuskan menjadi literasi informasi (information literacy) yang meliputi:
- Literasi dasar (basic literacy);
- Kemampuan meneliti dengan menggunakan referensi (library literacy);
- Kemampuan untuk menggunakan media informasi (media literacy);
- Literasi teknologi (technology literacy);
- Kemampuan mengapresiasi grafis dan teks visual (visual literacy).
Saya sendiri baru mengerti hal ini setelah membaca esai tersebut beberapa hari kemarin. Bahwa memang gerakan literasi kita seharusnya bukan hanya mengajak orang untuk gemar membaca dan bebas buta aksara dan mengonsumsi buku bacaan yang selalu memenuhi rak toko-toko buku melainkan mendidik diri menjadi manusia pembelajar seumur hidup yang berdaya nalar dan mampu mengenal dan mengelola informasi. Ini menjadi pekerjaan rumah yang mungkin masih cukup jauh dari kata selesai. Saya pun kembali memikirkan proses literasi di rumah kami yang telah berjalan ini sepertinya belum masuk kriteria sesuai definisi UNESCO.
Baca Juga: Main ke Perpusda Jaksel
Agaknya terasa berat ya tugas meningkatkan kemampuan literasi ini? Benar, terlebih di kondisi masyarakat yang dominan berpendapat, ngapain sih baca buku? Hahaa.. Melihat orang membaca buku di tempat umum adalah suatu keganjilan bagi penduduk negeri ini. Belum lagi didukung oleh harga buku baru yang cenderung mengikuti inflasi ekonomi sehingga sebagian keluarga yang anggarannya terbatas memilih untuk tidak membeli buku. Hal ini memang menjadikan buku belum masuk daftar prioritas belanja keluarga.
Di hari buku nasional ini, harapan saya adalah semua pihak yang berperan meningkatkan kompetensi literasi mendefinisikan lagi apa itu masyarakat yang literat? Apakah sekedar beli buku; baca buku lalu tinggalkan buku dalam rak? Atau menjadikan mereka membaca; mengkaji isinya; memberikan pemberdayaan dan menghasilkan karya yang kembali lagi dapat meningkatkan nalar kritis atas informasi?
Baca Juga: Main ke Perpus Nasional
Mungkin para penerbit perlu memangkas ongkos produksi dan penyelenggara negara bisa mengambil celah dengan memberi subsidi. Hasilnya diharapkan harga buku dapat lebih terjangkau lagi dan akan memperluas distribusinya ke semua tempat. Belajar dari Korea Selatan yang ternyata saya tahu kenapa begitu banyak buku-buku Korea diterjemahkan sekarang ini. Itu semua termasuk bagian dari upaya pemerintahnya yang membuat pusat budaya literasi agar karya warganya dapat diterjemahkan dan disebarluaskan di seluruh dunia.
Saya mengutip sebuah artikel di media internasional tahun 2016, bahwa sekarang ini pemerintah Korea bukan hanya mendukung anak muda untuk membaca buku tetapi juga untuk orang di luar Korea untuk membaca karya mereka. Negara yang berambisi memiliki pemenang nobel literasi ini begitu semangat memberikan dana untuk penerjemahan sebab syarat menjadi pemenang nobel literasi adalah karya yang bisa dibaca panitianya.
Memang agak sulit dan terlalu jauh kalau jadi pemenang nobel literasi ya, tetapi tidak apa-apa masyarakat pasti dukung negerinya kalau punya visi yang sama, buktinya Korea Selatan. Karya pengarang asal Korea sudah mendapat penghargaan Man Booker Prize dan ALMA Awards. Ini menjadi bukti bahwa upaya membuat literasi bukan sekedar baca, tetapi membaca bacaan yang bagus sehingga bisa menghasilkan karya yang diakui dunia.
Jadi, marilah kita semangat lagi meningkatkan kompetensi literasi masyarakat Indonesia di hari Buku Nasional 2023. Semoga buku mudah diakses siapapun dan bolehlah coba penerbit buku berkumpul bersama dan membuat cetakan versi e-reader agar bisa dijangkau pembaca bahasa Indonesia di seluruh dunia, ahaha (curcol seorang yang tak bisa baca buku terbitan Indonesia di e-reader). Ini hanya sekedar curahan hati pribadi yang kok rasa-rasanya jadi semacam esai! Wkwk...