Judul Buku: Pride and Prejudice
Penulis: Jane Austen
Penerbit: Qanita (edisi Bahasa Indonesia)
Tahun Terbit: 2011 ( edisi Bahasa Indonesia)
Tebal: 588 halaman
Pride and Prejudice!! Siapa yang tak mengenal roman karya
Jane Austen? Novel yang telah bertualang dari zaman kerajaan hingga zaman
digital sekarang ini masih menjadi memanjakan pembacanya yang berusia jauh lebih
muda dari novel itu sendiri. Terhitung sejak pertama kali diterbitkan tahun
1813 novel ini telah membawa kisah percintaan di abad 19 menembus waktu,
dicetak dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Penghargaan sebagai 1001
buku yang harus dibaca sebelum anda mati sangat layak bagi karya Austen.
Sekarang, izinkan saya berandai-andai jika tokoh utama wanita dalam novel
tersebut menuturkan kisah tentang diri dan hidupnya sendiri.
Ini tentang kisahku, Aku Elizabeth Bennet, putri kedua dari
lima bersaudara gadis-gadis Bennet. Keluargaku di rumah biasanya memanggilku
dengan sebutan Lizzy, ya kependekan dari namaku. Aku tinggal bersama ayah, ibu
dan saudari-saudari perempuanku di Loungbourn, Inggris dan perlu diketahui aku
tercipta di akhir tahun 1900 jadi jika dihitung usiaku sudah lebih dari seratus
tahun sampai hari ini. Namun, karena kisahku dituangkan oleh Miss Jane Austen
ke dalam sebuah novel maka disitulah waktu terhenti, mengabadikan semua hal
dalam hidupku.
Cerita kami bermula dari kehadiran seorang pemuda ke
Netherfield yang langsung menjadi popular karena kehormatannya.
Berbondong-bondong gadis-gadis pun bahagia karena ada undangan pesta di
kediamannya. Aku, Jane dan adik-adikku pun hadir dalam pesta tersebut. Malam
pesta itu membawaku mengenal Darcy, teman Bingley yang angkuh dan sangat tidak
aku suka. Sejujurnya pun, pertemuan itu hanya menumbuhkan bibit kebencian
padanya.
"Dia lumayan, tapi tidak cukup cantik untuk membuatku
terpikat; aku sedang malas beramah tamah dengan gadis-gadis yang tidak diminati
pria lain…" (ucapan Darcy, hal. 20)
Ucapannya terdengar olehku dan itu membuatku
tidak menyukai Darcy. Terlebih lagi ternyata aku lebih sering bertemu lagi
dengannya. Di setiap kali kesempatan bertemu, kami selalu memiliki topik untuk
berdebat dan menunjukkan ketidaksukaan satu sama lain. Entah mengapa sepertinya
pembicaraan Darcy yang arogan dan meremehkan memicu emosiku. Sebaliknya, di
dalam pikiran Darcy tak tumbuh sedikit pun kebencian justru sebaliknya
kekaguman dan rasa penasarannya atas diriku yang berbeda ini.
"Kalau begitu," kataku, "standar kalian tentang wanita
berbakat pasti sangat tinggi."
…
“Dia harus memiliki semua itu,” Darcy menambahkan, “ditambah
sesuatu yang lebih penting, yaitu pikiran yang kaya karena gemar membaca.”
(perdebatanku dengan Darcy, hal. 62)
Kasus cinta Jane dan Bingley yang hampir menuju pernikahan
digantung penuh oleh Bingley sendiri. Harapan menikah dengan Bingley pupus
sudah tetapi Jane yang memang terlalu baik berusaha berdamai. Lalu, kedatangan
Collins yang dalam waktu singkat melamarku sangat mengagetkan. Jelas sudah aku
menolaknya, tak terbesit sedikit pun untuk menikah dengannya hingga penolakan
ini sampai membuat Ibuku pusing. Akan tetapi, Ayahku yang selalu sayang
kepadaku mendukung penuh keputusanku. Lalu, kehadiran tentara di Meryton yang
cukup menghiburku dan dua adikku yang aneh Kitty dan Lydia, sebab mereka begitu
genit dengan para tentara.
Berlanjut ke kisahku dengan Darcy, sekian lama pertemuan di
Rosings tiba-tiba ketika kami hanya berdua Darcy mengungkapkan isi hatinya yang
membuatku kaget setengah mati.
“Sia-sia
saja aku berusaha. Ini tidak akan berhasil. Aku tidak sanggup lagi menahan
perasaanku. Izinkanlah aku mengatakan kepadamu betapa aku mengagumi dan
mencintaimu.” (pengakuan Darcy, hal. 288)
Pengakuan Darcy yang blak-blakan mengenai perasaannya padaku
merupakan hal yang tak pernah kusangka. Selama ini Ayah dan ibuku tahu betapa
kami tidak cocok bahkan aku sendiri pun tak pernah melihat gelagatnya yang
tertarik padaku. Aneh memang, ah baiknya kalian membaca sendiri kelanjutan
kisahku ini karena terlalu panjang jika kutuliskan semuanya disini. Aku yakin
kalian ingin tahu bagaimana kelanjutan kisah keluargaku, Jane-Bingley, Kitty,
Lydia dan tentunya Aku-Darcy.
***
Penampilan fisik karya Austen dalam edisi Bahasa Indonesia
ini cukup menarik dengan sampul depan dua orang berhadapan yang menggambarkan
dua tokoh sentral dalam cerita ini. Terlebih dengan label “salah satu roman
terpopuler sepanjang masa” di bawah nama penulis dan judulnya membuat karya
Austen ini sangatlah “menjual”. Menurut saya, penerbit cukup sukses menampilkan
Pride and Prejudice dengan menarik.
Sudut pandang penulis sebagai orang ketiga mengiringi alur
maju dari kisah Elizabeth dan keluarganya. Penulis bebas keluar masuk ke dalam
jiwa tiap karakter yang diciptakannya. Sewaktu-waktu menceritakan kehidupan
anggota keluarga Bennet dengan detail lalu menceritakan diskusi Elizabeth
dengan sahabatnya mengenai pernikahan.
“… dengan sepenuh hati aku mengharapkan Jane beruntung, dan
seandainya mereka hendak menikah besok, kuharap dia akan mendapatkan kesempatan
kebahagiaan yang sama seperti jika dia telah mempelajari sifat Bingley selama
setahun. Kebahagiaan dalam pernikahan hanyalah masalah nasib. Kalaupun kedua
belah pihak sudah saling mengetahui sifat masing-masing atau bahkan memiliki
sifat yang sama sebelumnya, itu tidak menjamin merekan akan berbahagia
selamanya. Perbedaan akan selalu tumbuh di antara mereka setelah mereka
menikah, sehingga akan lebih baik jika kita lebih sedikit mengetahui tentang
calon pasangan hidup kita.”
“Kau membuatku tertawa, Charlotte, tapi itu salah. Kau tahu
itu salah dan kau sendiri tidak akan berbuat begitu, kan?" (dialog Elizabeth
dengan Charlotte, hal. 37)
Kenapa tiba-tiba saya merasa membaca buku tips awet
berumahtangga? Baiklah, pernikahan memang menjadi topik utama dalam novel ini.
Bahkan sejak awal bab terdapat kalimat pembuka “sudah menjadi rahasia umum
bahwa seorang pemuda kaya tentu ingin mencari istri”. Austen memang membahas
isu pernikahan dizamannya. Ketika perbedaan strata sosial didasarkan kepada
kekayaan sehingga sangat tidak mudah bagi orang-orang tanpa kekayaan yang cukup
banyak untuk dianggap terhormat maka jangan harap akan terjadi pernikahan
antara dua orang dengan status yang berbeda. Seakan menyindir kehidupan
bangsawan yang berpesta untuk bertemu banyak wanita cantik dan membanggakan
kehormatan yang begitu tinggi lalu memilih diantar mereka siapa yang pantas
dinikahi. Tak hanya itu, Austen juga berani menciptakan Elizabeth sebagai
karakter yang mandiri, tegas dan bebas menentukan hidupnya sendiri. Hal ini
agak berbeda dengan wanita umumnya di zaman itu yang hanya pasif dan rela
menerima kenyataan seperti apa hidupnya di masa depan.
Perkara putri-putrinya yang belum menikah padahal sudah
cukup usia untuk menikah menjadi konflik bagi Nyonya Bennet. Mengingat zaman
itu wanita hanya menjadi ibu rumah tangga yang baik dan benar dengan mengurus
suami dan keluarganya. Lantas, mengapa harus menunggu lama untuk menikahkan
anak gadisnya? Toh wanita kala itu tak dituntut untuk bersekolah setinggi kaum
lelaki. Sayangnya, tidak mudah juga memilihkan lelaki baik dan cukup kaya untuk
Bennet bersaudara. Sebab itulah, Nyonya Bennet bercita-cita untuk menikahkan
semua anak gadisnya.
Hal ini membuat saya
menerawang ke masa lalu, di Inggris saja pernah mengalami masa ketika wanita
yang baik ya cukup menjadi istri dan mengurus rumah tangganya saja, tak
perlulah bekerja di luar rumah. Wow, saya agak terkesan dengan kultur di Inggris
yang seperti ini di abad 19-an dan bila dibandingkan dengan saat ini tentulah
jomplang jauh sekali. Membaca karya Austen menjadi seperti membaca buku sejarah
hidup wanita abad 19 yang masih “aman” dengan dua perannya, istri dan ibu.
Konflik antar tokoh seperti Lizzy dan Darcy, Tuan dan Nyonya
Bennet serta konflik internal tokoh-tokoh itu sendiri membuat cerita ini
benar-benar terasa nyata, manusiawi dan tidak berlebihan. Saya suka narasi
ketika Lizzy dan Darcy bertemu lalu memulai lagi dialog-debat mereka. Hubungan
cinta-benci yang terjadi di antara keduanya membuat saya seakan menonton drama
cinta-cintaan remaja yang baru kenalan dengan ‘rasa di hati berbeda’ itu.
Austen pandai mengantarkan pembaca terjun ke dalam isi hati dan pikiran para
tokohnya. Saya tenggelam dalam cerita Jane-Bingley yang penuh kerikil dan juga
dalam surat-surat panjang antar tokoh. Tak terbayangkan jika hanya dengan
suratlah kita bisa berkomunikasi, tak ada telepon, sms apalagi instant
messenger seperti saat ini.
Tak hanya love-hate relationship antara Darcy-Lizzy
namun ada konflik antara teman juga. Ya tokoh Wickham yang muncul sebagai orang
baik di mata Lizzy ternyata menyimpan rahasia lain. Rahasia yang akhirnya
terkuak dan seketika membuat Lizzy kaget akan mispersepsinya selama ini.
Sayangnya, Wickham juga menjadi pemicu konflik berikutnya bagi keluarga Bennet.
Hal inilah yang ternyata membuka pikiran Lizzy tentang karakter dan kepribadian
orang tak hanya bisa ditebak begitu saja.
Novel ini masuk dalam daftar 1001 buku yang harus dibaca
sebelum mati. Sehingga saya pun tertantang membaca kisah roman klasik ini. Novel
terjemahan edisi Indonesia cukup baik akan tetapi memang tidak biasa
menggunakan sapaan Mr. Miss dan Mrs agak terasa janggal bagi saya. Menurut
saya, penggunaan istilah asli Indonesia Tuan, Nona dan Nyonya tidak terlalu
buruk setidaknya akan lebih enak dipandang mata dan pikiran ketika dibaca.
Perlu disadari juga bagi pembaca jangan mengharapkan tata bahasa dan diksi yang
ringan dalam novel ini karena penggunaan bahasa baku dan sopan memenuhi setiap
paragrapnya, membuatnya cenderung agak berat meskipun alurnya ringan dan tidak
mudah ditebak.
Jika anda seorang yang ingin melihat Inggris di masa
lampaunya, ketika masih banyak hutan dan rumah-rumah megah dengan tokoh wanita
yang pandai berdansa dan bermain piano maka novel ini sangat saya sarankan
untuk dibaca. Austen juga membawakan nilai kekuatan akan kemandirian seorang
wanita yang tak hanya mampu menyayangi keluarga tetapi juga membela dan
melindungi keluarganya melalui tokoh utama Elizabeth. Tentunya perihal makna
‘pride’ dan ‘prejudice’ dalam sifat manusia yang memang seringkali membutakan
manusia itu sendiri mengingatkan perlunya kita belajar memahami dengan cara
yang berbeda. Sangat mengesankan mampu menyelesaikan satu dari 1001 buku ini.
Oleh sebab itu, saya berani memberikan lima bintang untuk Pride and Prejudice.
‘But if a woman is partial to a man, and does not endeavor
to conceal it, he must find it out.’ (Elizabeth Bennet)