Judul Buku: Sang Pemimpi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Juli 2006
Tebal: 292 halaman
Siapa yang pernah bermimpi dalam tidur? Jawabannya tentu semua orang
pernah bermimpi dalam tidurnya. Ya, mimpi yang katanya hanya bunga dalam
tidur, ibarat penghias tidur kita. Lantas, izinkan saya menemukan makna
dari kata mimpi terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mimpi sebagai kata benda bermakna sesuatu yang dilihat dalam tidur,
sedangkan sebagai kata kiasan bermakna angan-angan. Jika bentuk kata
mimpi berimbuhan me-kan, maka makna kiasannya adalah mencita-citakan
sesuatu yang sulit atau tidak mungkin dicapai. Saya rasa memang makna
kiasan dari mimpi inilah yang paling tepat menggambarkan karya Andrea
Hirata yang berjudul Sang Pemimpi.
Mengisahkan tentang petualangan masa remaja Ikal dan dua orang
sahabatnya, Arai juga Jimbron. Novel ini merupakan buku kedua dari
tetralogi Laskar Pelangi yang sebelumnya pun telah diekranisasi. Jika
dalam Laskar Pelangi kita bertemu dengan tokoh anak-anak SD maka dalam
Sang Pemimpi kita akan bertemu Ikal remaja yang tengah bersekolah di
SMA. Lantas, siapakah diantara para tokoh dalam novel ini yang
sebenarnya dibicarakan sebagai sang pemimpi? Tidak , bukan hanya seorang
pemimpi tetapi pejuang mimpi-mimpinya.
“Sejak itu, aku mengenal bagian paling menarik dari Arai, yaitu ia
mampu melihat keindahan di balik sesuatu, keindahan yang hanya biasa
orang temui di dalam mimpi-mimpi. Maka Arai adalah seorang pemimpi yang
sesugguhnya, seorang pemimpi sejati.” (hal. 51-52)
Itulah Arai di mata Ikal, seorang pemimpi sejati. Memangnya siapa sih
Arai ini? Sehebat apakah dia hingga mampu disebut sebagai sang pemimpi?
Di bab awal, Ikal sebagai tokoh utama “aku” menceritakan karakter fisik,
psikis dan asal usul keluarga Arai dengan mendetail. “Gerak-geriknya
canggung serupa belalang sembah. Tapi matanya istimewa. Di situlah
pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sang jendela hati,
adalah layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong”
(hal. 24). Arai si Simpai Keramat menjadi abang dan sahabat baru bagi
Ikal sejak ia tinggal di rumah orang tua Ikal. Jadi, dimulailah
hari-hari Ikal dan Arai yang penuh petualangan ala pemimpi.
Berbeda dengan pendidikan di kota pada umumnya, di Belitong Timur yang
menjadi latar tempat ini baru memiliki sebuah SMA Negeri. Ibarat
pernyataan pahlawan Nasional Kartini, habis gelap terbitlah terang maka
sekolah tersebut menjadi cahaya harapan orang para agar anaknya dapat
mengenyam pendidikan lebih baik dari mereka. Begitu pun para murid yang
haus akan ilmu dengan bangga bersekolah di SMA Negeri itu. Di sekolah
ini pula dikenal seorang guru berakhlak terpuji yang biasa dipanggil Pak
Balia. Guru kesusastraan inilah yang menanamkan benih bercita-cita
tinggi pada muridnya. Bayangkan saja, betapa hebat efek ucapannya hingga
membuat Ikal, Arai dan Jimbron dengan semangat tinggi bermimpi sekolah
ke Sorbonne, menjejak di negeri menara Eiffel, dan keliling Eropa.
Quote:“Jelajahi
kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya
budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamter
terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejak Sartre, Louis Pasteur,
Mostequieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra dan seni
hingga mengubah peradaban…” (hal. 73).
Sebenarnya saya pun menjadi bertanya-tanya dalam kepala setelah membaca
pernyataan pak Balia ini. Apakah benar semua orang-orang itu bersekolah
di Sorbonne? Well, saya kenal beberapa nama Louis Pasteur microbiologist,
Montesquieu sang filsuf serta Voltaire sang sastrawan dan ya ketiganya
dari Prancis tapi memang ketiga orang yang ini terkenal dengan karyanya
yang mendunia dan sumbangan besar terhadap kemajuan peradaban manusia.
Oke, simpulan hasil riset saya yakni, mereka orang hebat yang berasal
dari Prancis dan ya wajarlah jika Hirata membuat mereka sebagai contoh
nyata orang yang berprestasi di kancah ilmu pengetahuan.
Tidak hanya menyuguhkan kisah tentang impian tetapi juga bercerita
mengenai gejolak jiwa remaja yang dialami Ikal, Arai dan Jimbron.
Pengalaman indah saat bertemu sang pujaan hati, berusaha mati-matian
menarik perhatian gadis yang dicinta tertuang dan menyatu dengan baik di
tiap paragraf. Transisi perkembangan jiwa dari usia anak menjadi remaja
pun tergambar baik dari adegan-adegan pembangkangan remaja segala
kebandelannya. Saya akui penulis berhasil menciptakan karakter remaja
yang sangat jujur, sebagaimana adanya realita hidup remaja.
“Itulah kekuatan cinta, itulah kekuatan jiwa seorang laki-laki
bernama Arai, sungguh mengharukan. Dua bulan telah berlalu, Arai tak
juga menunjukkan kemajuan.”
“Tinggal sebulan waktuku, Kal,” katanya padaku sambil memeluk gitarnya.
“14 September ulang tahun Nurmala, aku sudah harus bisa membawakan lagu
itu!” (hal. 202).
Novel yang menyandang penghargaan National Best Seller ini sudah naik
cetak berulang kali dengan beberapa versi sampul berbeda hingga tahun
2012 dan di tahun 2009 Miles Film dan Mizan Production membuat versi
layar lebarnya. Sang pemimpi versi film dirilis tahun 2009 dan
disutradarai oleh Riri Riza. Demi menjaga keaslian tokoh utama dalam
novel, casting pun dilakukan untuk menemukan pemuda Melayu asli Belitung
yang sesuai dan mampu berakting sebagai Ikal, Arai dan Jimbron versi
remaja. Sedangkan versi dewasa Ikal diperankan oleh Lukman Sardi dan
Arai oleh Ariel ‘Noah’. Dalam Sang Pemimpi ayah dan ibu pun masih
diperankan Mathias Muchus dan Rieke Diah Pitaloka, yang membuat berbeda
mungkin beberapa tokoh baru yang belum ada di Laskar Pelangi seperti Pak
Balia diperankan oleh Nugie dan Zakiah Nurmala oleh Maudy Ayunda. Sang
Pemimpi pun sukses menjadi film Indonesia terlaris kedua pada tahun
2009.
Alur yang dipakai dalam film sedikit berbeda dengan novel. Jika dalam
film kita menemukan Ikal dewasa yang baru saja selesai kuliah
menceritakan kembali masa lalu remajanya maka dalam novel sejak awal bab
kita mendengarkan Ikal bercerita tentang dirinya dan orang-orang
disekitarnya sejak sekolah SMA hingga merantau ke pulau seberang.
Menurut saya, kedua perbedaan ini tidak menjadi masalah sebab kita akan
tetap menikmati sudut pandang orang pertama baik di film maupun di
novel. Sudut pandang ‘Aku’ yang kadang pun menjadi ‘Kami’ mampu diolah
oleh penulis sedemikian indahnya sehingga saya seperti membaca kisah ini
dari sudut pandang orang ketiga. Inilah kelebihan Hirata dalam
karyanya, ia mampu menjadi yang ‘Aku’ yang serba tahu.
Quote:Aku
dipanggil Pak Mustar. Dengan gaya orang Melayu tulen aku disemprotnya
habis-habisan, “Hanya tinggal satu semester lagi tamat SMA, memalukan!!
Memalukan bujan buatan!!”
“Keterlaluan!! Orang sepertimu patut dibuat sekandang dengan Malin
Kundang. Itulah orang sepertimu, kalau kau ingin tahu!! Sangkamu kau
siapa?? Phytagoras apa? Di SMA ketat ini kau pikir bisa menjaga kursimu
dengan belajar sekehendak hatimu!!??
Suaranya berat penuh sesal. Ia memang garang tapi semua orang tahu bahwa
sesungguhnya ia penuh perhatian, hanya saja caranya yang keras. (hal.
147-148)
Berbicara mengenai konflik, maka kita dengan mudah menemukan konflik
dalam kisah ini. Bermula dari konflik kecil interpersonal antara Ikal,
Arai dan Jimbron hingga konflik intrapersonal yang menjadi pemicu
pergesekan ‘Aku’ dengan beberapa tokoh lain. Konflik klimaks yang
dialami ‘Aku’ sebegitu hebatnya hingga otak dan jiwa saya pun mencelos,
ya sangat ‘Jleb’ di hati. Deskripsi konflik yang detail dan diksi
penulis membuat saya cukup emosional. Tidak berlebihan menurut saya,
penulis memilih konflik yang manusiawi, sangat paham bahwa manusia pun
pernah mengalami masalah yang sama dan secara tidak langsung memberikan
pelajaran how to deal with it.
Setiap potongan cerita mengandung nasihat dan pesan moral yang sangat
baik. Penulis memang pintar memberikan pesan bagi pembaca melalui
untaian kalimat yang memberikan semangat untuk bercita-cita setinggi
angkasa, mengetuk pintu hati bahwa masih ada jalan di setiap kesulitan.
Terasa manis memang tetapi bagi saya membaca kisah ini membuat saya
belajar bersyukur juga kembali menemukan potongan mozaik semangat yang
telah tercecer.
Secara keseluruhan novel ini memang kisah remaja yang dekat dengan
realita. Akan tetapi, Bentang Pustaka mengkategorikannya sebagai novel
dewasa yang menurut saya novel ini sudah layak baca oleh pembaca usia
remaja tengah (pelajar SMP-SMA). Novel Sang Pemimpi, di tiap frasanya
tertata apik pelajaran bagi semua anak yang mencintai keluarga dan
gurunya di sekolah dan tentu membuat kita mensyukuri tiap pemberian
Tuhan.
“…Pahamkah engkau, berhenti bercita-cita adalah tragedy terbesar dalam hidup manusia!!”
“Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati….”
“Aku masih seekor pungguk buta dan mimpi-mimpi itu masih rembulan,
namun sebenderang rembulan dini hari , mimpi-mimpi itu masih bercahaya
di dalam dadaku”
“Oughh, integritas dan loyalitas! What can I expect more from a man?”
Empat dari lima bintang untuk kisah yang mengugah rasa, asa, cita dan cinta.