[Sponsored Post]
Ilustrasi cerita tersebut adalah pengalaman nyata saya sendiri ketika menjadi ibu dari bayi berusia 4 bulan. Pada saat itu, putri saya memiliki kesulitan menyusui sehingga selain menyusui langsung saya harus memompa air susu ibu (ASI) saya lalu memberikannya kembali pada bayi saya. Berat? Wah, jelas gak usah ditanya lagi rasanya..
Baca Juga: Pengalaman Relaktasi
Alhamdulillah, kalau bukan karena kuasa Allah yang maha baik saya mungkin sudah menyerah dalam memberikan ASI eksklusif. Lalu, putri saya mungkin akan berisiko terkena stunting. Tiga tahun lalu saya sendiri belum banyak mendengar informasi mengenai stunting seperti yang sekarang sudah ramai dikampanyekan Kementerian Kesehatan. Oleh sebab itu, saya mau menceritakan mengenai dampak stunting bagi masa depan anak-anak dan negeri kita.
Bertempat di Jakarta, Tempo mengadakan acara Ngobrol Tempo dengan tajuk diskusi “Bibit Unggul untuk Indonesia Hebat: Mencegah Stunting, Meningkatkan Daya Saing Bangsa”. Diskusi kali ini bukan cuma membahas stunting dari sudut pandang kesehatan saja tetapi juga sisi ekonomi nasional. Dengan begitu, diharapkan masyarakat memahami dampak stunting yang ternyata begitu besar bagi negara.
Narasumber diskusi kali ini diantaranya Fasli Jalal yang merupakan Dewan Pembina Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesian (PDGMI), Sri Enny Hartati Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) serta Iing Mursalin sebagai Direktur Proyek Kesehatan dan Gizi berbasis Masyarakat untuk mengurangi Stunting (PKGBM) Millenium Challenge Corporation (MCA) Indonesia. Selain itu, hadir pula Yanuar Nugroho selaku Deputi II Kepala Staf Kepresidenan.
Menurut PBB, kasus gagal tumbuh/ perawakan pendek (stunting) terjadi akibat kurang gizi kronik. Diawali dari indikator gizi yang hanya dilihat dari perbandingan berat badan dan usia anak. Ternyata berkembangnya penelitian mengenai pertumbuhan anak menunjukkan bahwa kurang gizi di 1000 hari pertama kehidupan akan berdampak pula bagi perkembangan dan fungsi otak. Kemampuan intelektual anak yang stunting terganggu akibat rendahnya pertumbuhan sel otak di periode emas 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000HPK).
Penurunan berat badan anak yang kurang gizi akan dikompensasi dengan penurunan tinggi badan demi mempertahankan status gizi baik. Ketika anak mengalami gizi kurang lalu berat badannya turun maka tubuh akan melakukan adaptasi berupa penurunan tinggi badan. Ini dilakukan tubuh demi memenuhi gizi agar tetap tercukupi tidak. Anak memang tampak baik-baik saja sebab memang dilihat dari berat badan per usia status gizinya cukup.
Gerakan Pemenuhan Gizi di 1000 Hari Pertama Kehidupan diinisiasi oleh Ban Ki Moon (Sekretaris Jendral PBB) sudah berjalan selama 7 tahun. Ada pemaparan yang menarik dari Bapak Fasli Jalal, bahwa selain makanan yang kurang bergizi, ternyata cacingan juga menyumbangkan kekurangan nutrisi anak karena cacing mencuri nutrisi yang dibutuhkan anak. Jadi, walaupun orang tua menyediakan makanan bergizi bagi anak tetapi tidak membiasakan hidup bersih seperti cuci tangan maka makanan bergizi yang dikonsumsi anak akan dicuri oleh cacing. Lagi-lagi perkara stunting bukan hanya masalah ekonomi tetapi juga masalah akses kebersihan berupa pendidikan kesehatan dan kebersihan lingkungan.
Sri Enny Hartati Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memaparkan bahwa persoalan pangan merupakan masalah di negeri agraris seperti Indonesia. Faktor sumber daya manusia berkualitas yang salah satunya adalah berkualitas secara fisik. Jika kondisi ini tidak dapat dipenuhi maka jangan harap negara kita maju.
Narasumber berikutnya adalah Kang Iing Mursalin sebagai Direktur Proyek Kesehatan dan Gizi berbasis Masyarakat untuk mengurangi Stunting (PKGBM) MCA Indonesia. Ada 3 kegiatan besar yg dilakukan yaitu, kerjasama dengan pemberdayaan masyarakat, kedua peningkatan kapasitas kesehatan dan ketiga kampanye meningkatkan kesadaran gizi.
Tenaga kesehatan di Puskesmas dan kader posyandu diberikan pelatihan untuk memberikan edukasi gizi. Perilaku masyarakat terkait sanitasi yang masih rendah menyumbang juga dalam masalah stunting. Selain itu, anemia yang cenderung tinggi pada ibu hamil juga diintervensi dengan memberikan tambahan zat besi untuk mencegah stunting. Kegiatan melibatkan masyarakat cukup membuat perubahan bermakna dalam mencegah Stunting.
Bagaimana pemerintah memfasilitasi inisiatif gerakan CEGAH STUNTING dinarasikan oleh Yanuar Nugroho selaku Deputi II Kepala Staf Kepresidenan. Jika kita bicara stunting maka sudah dipastikan ini merupakan kondisi struktural. Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan sistemik di masyarakat. Dampaknya sudah pasti akan mempengaruhi satu generasi.
Menurut Yanuar Nugroho, Cegah Stunting harus diupayakan secara sistematis dengan kerjasama lintas sektor. Anggaran yang disediakan sepertiga dari daerah dan sepertiga dari pusat dengan desentralisasi dari Pemerintah Daerah. Kita dapat mengupayakan penganan lokal menjadi pemenuh gizi yang utama bukan makanan manis (yang hanya mengandung gula). Indikator yang paling mudah adalah tinggi badan anak untuk dapat diketahui anak tersebut stunting atau tidak.
Selain itu, konseling terhadap pola makan harus dilakukan kepada pengasuh dan orang tua. Sanitasi, akses listrik dan rasio produksi konsumsi merupakan ketiga hal yang menjadi indikator pembangunan untuk mencegah stunting.
Setelah mengikuti diskusi ini saya jadi membayangkan kondisi yang secara fisik seperti jalan rusak, banjir atau tidak adanya akses listrik memang turut menyumbangkan angka stunting pada balita di daerah lain di Indonesia. Sehingga bukan hanya faktor ekonomi seperti ketidakmampuan menyediakan makanan bergizi saja yang menjadi penyebab utama. Selain itu, perlu diperhatikan juga perilaku hidup bersih seperti mencuci tangan sebelum makan dan memperhatikan kandungan gizi yang dimakan perlu untuk diedukasi kepada orang tua dan pengasuh.
Gizi dan stimulasi perkembangan anak yang tepat akan mampu mengejar ketertinggalan akibat stunting. Ternyata bukan hanya kaya miskin penyebab stunting tapi literasi dan gaya hidup sehat yang minimal di masyarakat. Jadi, jangan biarkan anak-anak kita menjadi korban stunting!
Melihat timbangan dan alat ukur tinggi di Posyandu membuatku merasa ketar-ketir. Jantung berdebar, harap-harap cemas apakah berat dan tinggi badan anakku akan berada pada garis normal atau kurang. Ya, kurang berat dan tinggi badan yang memang tidak sehat bahkan berbahaya bagi masa depan anakku. Lantas, ibu manakah di dunia ini yang ingin anaknya terkena stunting? Kurasa tidak ada yang mau jika mereka tahu dan mengerti akibat buruk dari stunting.
Ilustrasi cerita tersebut adalah pengalaman nyata saya sendiri ketika menjadi ibu dari bayi berusia 4 bulan. Pada saat itu, putri saya memiliki kesulitan menyusui sehingga selain menyusui langsung saya harus memompa air susu ibu (ASI) saya lalu memberikannya kembali pada bayi saya. Berat? Wah, jelas gak usah ditanya lagi rasanya..
Baca Juga: Pengalaman Relaktasi
Alhamdulillah, kalau bukan karena kuasa Allah yang maha baik saya mungkin sudah menyerah dalam memberikan ASI eksklusif. Lalu, putri saya mungkin akan berisiko terkena stunting. Tiga tahun lalu saya sendiri belum banyak mendengar informasi mengenai stunting seperti yang sekarang sudah ramai dikampanyekan Kementerian Kesehatan. Oleh sebab itu, saya mau menceritakan mengenai dampak stunting bagi masa depan anak-anak dan negeri kita.
Bertempat di Jakarta, Tempo mengadakan acara Ngobrol Tempo dengan tajuk diskusi “Bibit Unggul untuk Indonesia Hebat: Mencegah Stunting, Meningkatkan Daya Saing Bangsa”. Diskusi kali ini bukan cuma membahas stunting dari sudut pandang kesehatan saja tetapi juga sisi ekonomi nasional. Dengan begitu, diharapkan masyarakat memahami dampak stunting yang ternyata begitu besar bagi negara.
Narasumber diskusi kali ini diantaranya Fasli Jalal yang merupakan Dewan Pembina Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesian (PDGMI), Sri Enny Hartati Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) serta Iing Mursalin sebagai Direktur Proyek Kesehatan dan Gizi berbasis Masyarakat untuk mengurangi Stunting (PKGBM) Millenium Challenge Corporation (MCA) Indonesia. Selain itu, hadir pula Yanuar Nugroho selaku Deputi II Kepala Staf Kepresidenan.
Menurut PBB, kasus gagal tumbuh/ perawakan pendek (stunting) terjadi akibat kurang gizi kronik. Diawali dari indikator gizi yang hanya dilihat dari perbandingan berat badan dan usia anak. Ternyata berkembangnya penelitian mengenai pertumbuhan anak menunjukkan bahwa kurang gizi di 1000 hari pertama kehidupan akan berdampak pula bagi perkembangan dan fungsi otak. Kemampuan intelektual anak yang stunting terganggu akibat rendahnya pertumbuhan sel otak di periode emas 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000HPK).
Penurunan berat badan anak yang kurang gizi akan dikompensasi dengan penurunan tinggi badan demi mempertahankan status gizi baik. Ketika anak mengalami gizi kurang lalu berat badannya turun maka tubuh akan melakukan adaptasi berupa penurunan tinggi badan. Ini dilakukan tubuh demi memenuhi gizi agar tetap tercukupi tidak. Anak memang tampak baik-baik saja sebab memang dilihat dari berat badan per usia status gizinya cukup.
Gerakan Pemenuhan Gizi di 1000 Hari Pertama Kehidupan diinisiasi oleh Ban Ki Moon (Sekretaris Jendral PBB) sudah berjalan selama 7 tahun. Ada pemaparan yang menarik dari Bapak Fasli Jalal, bahwa selain makanan yang kurang bergizi, ternyata cacingan juga menyumbangkan kekurangan nutrisi anak karena cacing mencuri nutrisi yang dibutuhkan anak. Jadi, walaupun orang tua menyediakan makanan bergizi bagi anak tetapi tidak membiasakan hidup bersih seperti cuci tangan maka makanan bergizi yang dikonsumsi anak akan dicuri oleh cacing. Lagi-lagi perkara stunting bukan hanya masalah ekonomi tetapi juga masalah akses kebersihan berupa pendidikan kesehatan dan kebersihan lingkungan.
Sri Enny Hartati Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memaparkan bahwa persoalan pangan merupakan masalah di negeri agraris seperti Indonesia. Faktor sumber daya manusia berkualitas yang salah satunya adalah berkualitas secara fisik. Jika kondisi ini tidak dapat dipenuhi maka jangan harap negara kita maju.
Masalah kemiskinan dan kesehatan ibarat lingkaran setan dalam masalah ekonomi. Kenapa dia kurang gizi? Karena miskin. Kenapa miskin? Karena kurang pendidikan. Kenapa kurang pendidikan? Karena miskin.. begitu seterusnya.. Jika ini terus dibiarkan maka kehidupan dan daya saing anak cucu kita sulit diharapkan di masa depan.
Narasumber berikutnya adalah Kang Iing Mursalin sebagai Direktur Proyek Kesehatan dan Gizi berbasis Masyarakat untuk mengurangi Stunting (PKGBM) MCA Indonesia. Ada 3 kegiatan besar yg dilakukan yaitu, kerjasama dengan pemberdayaan masyarakat, kedua peningkatan kapasitas kesehatan dan ketiga kampanye meningkatkan kesadaran gizi.
Tenaga kesehatan di Puskesmas dan kader posyandu diberikan pelatihan untuk memberikan edukasi gizi. Perilaku masyarakat terkait sanitasi yang masih rendah menyumbang juga dalam masalah stunting. Selain itu, anemia yang cenderung tinggi pada ibu hamil juga diintervensi dengan memberikan tambahan zat besi untuk mencegah stunting. Kegiatan melibatkan masyarakat cukup membuat perubahan bermakna dalam mencegah Stunting.
Bagaimana pemerintah memfasilitasi inisiatif gerakan CEGAH STUNTING dinarasikan oleh Yanuar Nugroho selaku Deputi II Kepala Staf Kepresidenan. Jika kita bicara stunting maka sudah dipastikan ini merupakan kondisi struktural. Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan sistemik di masyarakat. Dampaknya sudah pasti akan mempengaruhi satu generasi.
Menurut Yanuar Nugroho, Cegah Stunting harus diupayakan secara sistematis dengan kerjasama lintas sektor. Anggaran yang disediakan sepertiga dari daerah dan sepertiga dari pusat dengan desentralisasi dari Pemerintah Daerah. Kita dapat mengupayakan penganan lokal menjadi pemenuh gizi yang utama bukan makanan manis (yang hanya mengandung gula). Indikator yang paling mudah adalah tinggi badan anak untuk dapat diketahui anak tersebut stunting atau tidak.
Selain itu, konseling terhadap pola makan harus dilakukan kepada pengasuh dan orang tua. Sanitasi, akses listrik dan rasio produksi konsumsi merupakan ketiga hal yang menjadi indikator pembangunan untuk mencegah stunting.
Setelah mengikuti diskusi ini saya jadi membayangkan kondisi yang secara fisik seperti jalan rusak, banjir atau tidak adanya akses listrik memang turut menyumbangkan angka stunting pada balita di daerah lain di Indonesia. Sehingga bukan hanya faktor ekonomi seperti ketidakmampuan menyediakan makanan bergizi saja yang menjadi penyebab utama. Selain itu, perlu diperhatikan juga perilaku hidup bersih seperti mencuci tangan sebelum makan dan memperhatikan kandungan gizi yang dimakan perlu untuk diedukasi kepada orang tua dan pengasuh.
Gizi dan stimulasi perkembangan anak yang tepat akan mampu mengejar ketertinggalan akibat stunting. Ternyata bukan hanya kaya miskin penyebab stunting tapi literasi dan gaya hidup sehat yang minimal di masyarakat. Jadi, jangan biarkan anak-anak kita menjadi korban stunting!
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Hi! Thanks for reading! Please give your comment here..
Mohon maaf link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya