Tulisan tidak bermaksud untuk menggurui apalagi sok-sok-an jadi
anak baik hati (hahaa..). Tulisan ini hanya akan menjadi sarana saya
ber-katarsis (cuhat dalam bahasa
psikiatri cuy) dan memberikan pandangan-pandangan saya tentang hal yang
saya temukan dan rasakan. Hari ini saya kebetulan baru bepergian ke daerah
Patra Kuningan karena mengurus sesuatu hal. Hujan telah selesai menyiram bumi
Patra Kuningan kala saya rencana balik ke rumah. Saya pun seperti biasa menjadi
penumpang transportasi publik yang setia.
Heh? Pengguna transportasi
publik yang setia? Berani banget nyebut diri elo begitu, emang siapa lo? For your
information, saya ini sudah menjadi penumpang tetap bus MetroMini
BlokM-Rumah (kali deh di bus jurusan ke
rumah gue serasa milik pribadi, hahay!). Maksudnya, bus Metro BlokM-Lbk.
Bulus sudah setia menemani saya sejak bersekolah di SMA (tahun 2004) selama
tiga tahun berikutnya. Lalu, dilanjutkan lagi ketika “harus” (coba apa ini? Harusnya itu di
bold-italic-underline, kesannyaa gimana gituuh, hoho) berkuliah di Kampus
UI Depok. You know what? Saya lagi-lagi
kecanduan menumpang bus (ya kali
kecanduan, terpaksa ada juga lebih tepatnya, haha).
METROMINI iniiih! |
nih 63 nih.. huu |
Baiklah, saya menjadi penumpang setia bus jurusan Lbk.
Bulus-Depok atau BlokM-Depok. Lagi dan lagi menumpang bus besar yang asap hasil
pembakaran bensin atau solar ya? (kayaknya
sih solar deh, nebak :P) itu hitam sampe abu-abu dan baunya sangat tidak
enak. Lalu ditambah pula bus
tercintaku (terus gue mual gitu
abis nyebut ini) ini memiliki jadwal keberangkatan yang sangat, sangat
teratur (nyindir intinya sih macam
di-PHP-in gitu). Bus Deborah berangkat dengan jadwal tetap ini sebenernya
jadi kelebihan tapi karena dijadwalin itu frekuensi bus jalan jadi sedikit
sehingga penumpang bakal menumpuk dan selalu menumpuk pastinya di jam-jam
padat. Bus yang satu Kopaja 63 ini saking teraturnya dia sesuka hati aja gitu datang
jam berapa sampe terminal blokM bener-bener menguji kesabaranlah.
Saya berpendapat bus besar itu (macam metro dan Deborah)
lebih enak ditumpangi daripada motor pacar (eh,
ngasal) enggak maksudnya daripada angkot yang kecil-kecil itu. Saya enggak
terlalu suka angkot kecil (macam di depok yang biru-biru itu warnanya). Alasannya
sih, gak penting bagi orang tapi penting banget bagi saya. Saya tidak suka
adegan merundukkan kepala dan separuh badan saat keluar-masuk angkot kecil itu.
Alasan intinya sih kepala saya sering jadi korban tumbukan dengan pintu angkot
(baca Kejedut) dan yeah
angkot kamu berhasil menyakiti kepalakuuu Arrhh! Sebenernya sih gak
sering-sering amat juga jadi korban tapi ya, ngeselin aja kali ya, mesti lebih
ati-ati setiap naek angkot karena kelebihan tinggi badan, ahaha.
Bus tercintaku, terfavoritku, ter-ngeselin pulak! |
Alasan saya suka naik bus itu indah pokoknya, gak perlu ada
adegan nunduk-nundukin kepala lipat kaki rapat-rapat macam di angkot yang mesti
empet-empetan (nempel-nempel) duduknya. Duduk, gak perlu nunduk separuh badan,
gak perlu adegan kejedut pintu. Terus duduknya pun gak usah lipat karena di bus
macam layaknya lagi duduk di kursi makan di rumah (kalo kursinya emang cukup
tinggi). Tuh, kan lebih enak duduk di bus daripada angkot (udah gak usah naik angkot, hahaa kompor!)
Baiklah, cukup sudah pembukaannya (haaah, tadi masih pembukaaan?? Ciyuuus?) XD
Intinya tulisan sekarang itu di sini kali, haha. Saya suka
prihatin kalau lagi naek bus umum (ya iyalah
emang ada bus pribadi gitu). Kalau sudah penuh semua kursi penumpangnya maka
terpaksalah mesti berdiri kan. Lalu, lalu gimana nasib orang-orang yang
seharusnya lebih berhak duduk dikursi itu sedang ia berdiri? Ya itulah masalah
perilaku masyarakat kota yang seringkali saya temukan di dalam bus. Contohnya,
pas lagi penuh ada ibu-ibu gitu ya terus di situ tuh ada anak muda/bapak-bapak
yang ya idelanya itu (idealnya adalah
bapak itu memberikan kursi duduknya buat ibu yang lebih pantas) ya mengalahlah demi kebaikan
orang lain. Akan tetapi yang sering ditemukan justru mereka yang tidak mau
merelakan kursi duduknya bagi orang yang lebih butuh dan pantas mendapatkannya.
Saya sok baik banget kan? Kan udah dibilang jangan sebut
saya sok baik karena saya emang begini, haha. Sejak remaja entah usia berapa di
dalam kepala saya tertanam sebuah prinsip “kalau ada yang lebih membutuhkan dari kamu
(kursi duduk di bus itu) kamu harus memberikannya pada yang lain, meskipun kamu
juga kadang merasa enggan. Kamu itu malu kok, tega membiarkan ibu/ibu hamil/nenek/kakek
yang lebih pantas justru berdiri. Coba kalo itu orang tua kamu sendiri,
kakek/nenek kamu. Kamu mau melihat mereka kesusahan?” Jadinya, itulah
yang menghantui saya sampe saat ini, hehee.. Akhirnya, sekarang sih saya suka
keselek (eh kesel) kalo liat orang yang tidak mau ngalah dan yaudah saya yang
ngalah kasih kursi duduk.
Entah mengapa fenomena ini sangat terasa di kota besar
seperti Jakarta, saya tak tahu kalau kota lain ya. Tapi mengapa rasanya miris
banget ya, melihat perubahan pola perilaku individu dalam masyarakat yang
terasa makin selfish dan tidak peduli lagi dengan orang lain. Emang sih semua
orang yang pulang kerja entah darimana pun dia, lalu merasa lelah, ingin tidur
dan sebagainya. Namun, untuk sebuah hal yang sederhana tapi terlihat jelas
kemuliaannya di mata Allah gitu ya, kenapa sungguh sulit dilakukan? Saya jadi
ingat kalimat guru agama saya jaman sekolah, katanya yang muncul otomatis itu dari perilaku kita itulah akhlak kita
yang sebenernya (terlepas dari ilmu perilaku manusia ya). Emang kalau liat
orang lagi kaget coba deh perhatiin kalimat pertama yang dia ucapkan, kalau dia
ucapin yang baik berarti akhlaknya ketahuan baik, justru sebaliknya kalau dia
gak sengaja nyebut yang aneh-aneh itu ya jelas sudah isi kepala dan akhlaknya
seperti kalimat ucapannya tentu.
Lalu, saya jadi menganalogikan juga proses otomatis ini
dalam hal memberikan tempat duduk di bus. Ketika kita duduk enak, santai lalu
tetiba datang penumpang baru ibu tua dan berdiri, mari kita perhatikan apakah
jiwa kita ini langsung tergerak memberikan tempat duduk kita buat ibu tua itu? Atau
kita pura-pura cuek dulu siapa tau ada yang laen yang ngasih jadi kita tetep
santai. Baru deh kalo enggak ada yang ngasih, kita deh yang ngalah buat ibu
tuanya.
Saya tidak akan menghakimi ini perbuatan baik/ buruk atau
apalah namanya. Saya tak ada hak itu. Saya hanya melihat sebuah kebaikan yang
sederhana namun mulia yang bisa jadi ladang amal walau hanya sebentar saja. Oleh
sebab itu, dari pengalaman saya sendiri kadang kan kalo posisinya lagi enak
(yang lebih berhak berdiri tak jauh dari tempat saya) cukup dengan bilang “ini
bu, duduk aja” terus saya berdiri. Pernah juga soalnya, niat saya mau kasih
yang lebih butuh eh malah mau ditelikung sama orang laen, yeee.. gak nyadar ada
yang lebih butuh kali itu orang lantas ya saya omelin ajalah, haha. Terkadang lagi,
namun jarang juga sih, saya ketemu orang lain yang sama-sama niat memberikan
tempat duduk di bus. Tetapi, dia lebih dahulu memberikan kursinya, jadinya saya
tetep duduk deh. Kalo yang ini saya mikirnya sih fastabiqul khairat, itu loh berlomba dalam kebaikan, dan yaaaahhhh
saya kecewaaahh karena kebalap memberikan duduk buat ibu yang lebih butuh,
huhohoho.. terus mikir deh yaaah, masih jadi niat aja ngasih tempat duduknya,
gak jadi kebaikan penuh deh, hahaay dasaar saya gak mau rugi :P
Terusin ya, masih ya terusin tentang ini. Jadi, sebenernya
juga, saya punya niat mau cari lelaki baik yang berakhlak karimah dengan
memberikan kursinya untuk orang yang lebih butuh. Lhoooo??? #tetiba. Jadi,
kalau ada cowok nih ya seganteng apapun dia, pasti di mata saya gantengnya
luntur kalau dia ketahuan gak ngasih kursi kepada yang lebih berhak. Karena
yaaa,, ini sih emang gak krusial banget ya sebagai kriteria calon suami tapi ya
bolehlah diuji kalo lagi proses mengenai opininya tentang kendaraan umum dan
adegan yang lebih pantas duduk. Makanya, kalau lagi nemuin di bus ada bapak-bapak/
cowok yang ngasih kursinya dengan OTOMATIS tanpa adegan diam/mematung dulu itu
beneran deh bikin saya MELELEH, ahahah. Maksudnya ya berarti mereka emang baik
kan? Saya pun turut mendoakan buat mereka semoga Allah balas kebaikannya dengan
yang berlipat. Keren gak sih, hal sekecil ini bisa bikin kita mulia di mata
Allah dan yaa manusia juga sih.
Memang, ini buka tolak ukur yang pasti untuk menentukan
baik-shalih/enggaknya laki-laki ya. Tapi, bagi saya ini worthed banget. Nanti ya, kalau udah punya suami saya berniat mau
jalan-jalan naik kendaraan umum (bus metro/kopaja atau transjakarta) terus
nge-tes dia deh pas di jalan apakah dia rela mengorbankan kursinya di sebelah
kursi saya buat orang lain yang lebih butuh? *waduuuuh harusnya gak usah
dikasih tau ya, jadi ketauan deh semua di sini, ahahaha.. ah abaikan sajalah
ya, tak usah diambil ke hepar :P
Tuuuh kaaaan… ujungnya tulisan ini kembali meracau tak
penting, hahay! Tak apalah namanya juga katarsis semuanya aja tumpahin (air hujan kali tumpah dari langit). Tiadalah
maksud lain dari tulisan ini melainkan sekedar menjadi bahan refleksi diri saya
pribadi serta menemukan setitik hikmah yang tercecer dimanapun kita berada. Jika
ada yang baik yang bisa diambil, soklaaah ambiil, ambiil mumpung gratisan (eh, tuing-tuing makanan kali) tapi jika
ada yang kurang-kurang atau ya gimana-gimana gitu gak perlu dan gak penting mah
ABAIKAN SAJAAAAAH!!! Ahahaa… sudahlah, sekian aja ya. Wassalam.
Kamar, 23112012
*sepulang dari senja yang hampir tenggelam*
*gambar diperoleh dari google, bukan milik pribadi ya, ngapain pulak gue kerajinan motret-motret bus-bus ituuh XD
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Hi! Thanks for reading! Please give your comment here..
Mohon maaf link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya