Kisah lain lagi mengenai lansia di institusi (panti sosial).
Di sini saya menemukan betapa banyak lansia yang dibantu perawatan hidupnya
oleh Negara. Hal ini disebabkan banyak hal, satu diantaranya yang utama dan
mendominasi yakni, mereka adalah lansia terlantar dan tak bisa merawat
kesehatan mereka sendiri. Saya mengelola ruangan lansia wanita dengan tingkat
ketergantungan total bersama teman kelompok. Klien lansia kelolaan saya
mengalami gangguan penglihatan (katanya sih sejak muda). Nenek ini punya adik
perempuan yang juga sudah memasuki usia lansia awal. Jadi, setiap hari nenek
klien saya selalu bersama nenek adiknya yang masih sehat. Saat kita mengobrol
(tentu, tanpa rasa berdosa dan polos) saya Tanya nenek udah punya cucu? And you
know what, she was not married. (Me: with astonish expression in my brain)
What? Oh my Allah, both of them were not married until these old ages. Then, I
found out the reason why they are here. Yes, they had no other family member
that can take care of them. So, until they are entering elderly time alone, no
kids, no grandchildren. Oh, so poor Nenek berdua itu.
Itulah mengapa berkeluarga merupakan satu dari sunah
Rasulullah SAW. Karena dengan memiliki keluarga dan keturunan, kita memiliki
support system agar kita bisa koping dengan baik masalah yang dihadapi dan kita
tidak sendirian. Keren banget ya, padahal Rasulullah tidak mempelajari ilmu
keperawatan keluarga, tapi beliau paham betul makna keluarga dalam hidup
manusia. Awesome.. subhanallah.
Dalam proses pembelajaran selama di panti werdha (bahasa
indahnya panti jompo) saya merasa jadi paling muda (ya iyalah, lah semuanya
udah nenek-kakek), hehee.. Hmm.. tapi ya selalu dan selalu terdapat lagi nilai
kehidupan yang dapat saya ambil dari sini. Manusia akan mati, dalam usia muda
atau dia akan sampai pada usia tua lalu mati. Mengamati apa yang saya temukan
di ruang rawat panti, bersama lansia-lansia ini, tubuh yang lemah, kulit
keriput, penglihatan dan pendengaran menurun jujur membuat saya merasa bersyukur
dengan kondisi saya yang masih sehat dan muda saat ini. Tak bisa disangkal
lagi, manusia zaman sekarang ini takut menjadi tua, keriput, jelek dan
sakit-sakitan. Maka dipakailah segala cara (jika mereka punya uang banyak)
untuk tetap muda (entahlah itu apa caranya). Mengapa kita harus takut menjadi
tua dan keriput? Toh itu adalah normalnya kondisi manusia yang hidup hingga
lama kan? Jika tak ingin tua ya mati di usia muda saja.
Kalimat sebelumnya emang sarkas banget, tapi kan itu emang
realita, jadi hadapi saja. Hadapi proses siklus hidup manusia dengan bijak dan
dewasa. Menjadi tua bukanlah kutukan, bukan hal yang menakutkan, tapi merupakan
nikmat dari Allah dan berarti ladang amal kita sebagai manusia masih ada walau
sudah tanda sedikit lagi usia akan habis masanya.
Kembali lagi ke kisah nenek kakak-beradik yang jadi lansia
kelolaan saya. Ya, nenek saya itu berusia sekitar 70 tahun, saya lupa persisnya
dan sebenarnya sang nenek pun kurang yakin dengan usianya. Baiklah, saya akan
lanjut cerita tentang wanita-wanita yang tidak menikah hingga usia senja
menemaninya. Sebenarnya masih ada nenek lainnya pun bernasib sama, tidak
menikah hingga senja. Kalau nenek saya ini bilangnya udah terganggu penglihatan
jadi tak ada yang mau menikah dengannya. Lalu, sang adik menjawab (alasan
enggak nikah juga) saya ya nemeni kakak saja. Padahal pas saya tanya (dengan
polos karena gak tau) nenek ada cucu? | Jawabnya adalah ya, gimana ada cucu,
anak juga tak ada. Trus saya masih gak yakin dengan jawaban nenek akhirnya
nanya lagi (emang dasar uduul) emang suaminya kemana nek? | Saya kan gak nikah
neng. Saya: siyook (baca: shock) dengan mulut ternganga (hanya dalam angan)
tapi beneran kaget loh dan saat itu saya jadi enggak enak hati gitu, gara-gara
nanya perkara pernikahan (eleeh, parah bet yak).
Lantas apalagi yang terjadi dalam kepala saya setelah
menemukan para nenek single fighter ini? Well, of course about marriage thing
again. Bukan saya ngebet atau apalah melainkan karena saya sedih aja melihat
mereka sendirian sampai tua tanpa ada keluarga dan kerabat dekat yang mengurusi
sehingga harus terdampar di panti Werdha. Dalam pikiran saya, tentulah
sendirian selamanya tidak enak. Mungkin memang terbiasa dengan keramaian dalam
keluarga besar, banyak saudara dan ya itulah kebersamaan yang tidak bisa dibeli
dengan apapun kalau udah kumpul keluarga. Saya pun setelah praktik di panti ini
berjanji pada diri sendiri, apapun yang terjadi saat tiba waktunya kedua ibu
dan ayah saya memasuki usia senjanya tidak akan mengirim mereka ke institusi
kesehatan lansia. Saya akan mengurus mereka di kala usianya telah renta. Janji ya,
karena saat itulah bakti kita sebagai anak kandung dipertaruhkan (halaah,
lebay) tapi emang benar adanya. Ya, pokoknya aku mau nurut apa kata Allah aja,
berbakti pada orang tua dan mengurusnya saat mereka renta. Aamiin :D
Aarrgh.. tadi lagi bahas apa pula, kenapa jadi flight of
ideas gini deh (kebiasaan). Oh ya, kita bahas nikahan ya tadi. Iya, itulah yang
bikin sedih dan galau akut menimpa saya selama di panti. Wew, aku gak mau
sendirian terus sampai tua Allah, aku mau nikah, punya suami, anak-anak dan keluarga
yang bahagia (idealnya). Hal ini jujur membuat saya kecemasan (anxiety) di usia
rentan ini (baca: dewasa muda yg harus memenuhi tugas perkembangan menemukan pasangan
dan berkeluarga). Cemas, takut, ragu-ragu itu melanda bikin stress sendiri juga
sih meski dikit pengalaman ini cukup mempengaruhi saya. Akhirnya pun, saya
menumpahkan ini dengan curhat pada sahabat saya (dia sudah lebih dulu melalui
stase gerbong gerontik) dan dia pun merasakan hal yang tak jauh berbeda. Ya,
kecemasan akan mengenai masa depan yakni, menemukan pasangan hidup, menikah dan
berkeluarga. Pada akhirnya, curhat saya diakhiri dengan doa buat kami berdua,
semoga Allah memberikan suami yang baik dan mempertemukan kita dengan pasangan
hidup kita di waktu yang tepat dan yang terbaik untuk keluarga di masa depan (aamiiin). Lega
rasanya, walaupun hanya kecemasan tapi bisa begitu besar efeknya ke jiwa
(Allah, terima kasih lagi karena saya belajar ilmu ini). *take deep breath,
sigh* finally, saya bisa juga lega dan tersenyum menghadapi berbagai hal yang
para lansia alami selama di panti. Jika saja orang luar tahu seperti apa
kehidupan di panti werdha yang dikelola dinas sosial saya yakin tidak ada yang
mau hidup dan tinggal sendiri, jauh dari keluarganya di sana.
Nilai yang saya ambil selama belajar di sini salah satunya
yaitu, menikahlah dan berkeluargalah, bangun keluarga yang baik didiklah
anak-anak dengan baik (loh, kok?? Kenapa jadi promosi nikah gini?). bukan
promosi ini, ini namanya menyeru kepada yang baik. Sebuah saran dari saksi
hidup (para lansia dan saya), kamu-kamu tentu tak mau hidup tua sendirian
berakhir di panti bukan? Ya sudah, mudah saja, pilih calon pasangan hidup
dengan baik (tentu bukan dengan jalan berpacaran *karena saya penentang pacaran
garis keras, haha* menikah dengan cara yang baik, menyayangi keluarga inti
(kamu dan pasanganmu), keluarga besar orang tuamu, lalu mendidik anak-anakmu
dengan memberikan pemahaman yang baik pada agamanya, mengajarkannya AlQur’an,
mencontohkan suri tauladan yang baik. *perfect bener ya?* namanya juga
cita-cita kok, pasti maunya yang terbaiklah. Insya Allah, hidup kita sampai tua
bahagia (tanpa perlu masuk institusi khusus lansia) dan wafat dengan khusnul
khatimah, aamiin.
Sekian, sepenggal kisah dari panti Werdha (khusus perawatan
lansia) yang saya alami sendiri dan temukan senyata-nyatanya (eleeh, lebay). Semoga
saya dan pembaca sekalian dapat mengambil kebaikan dari kisah ini.
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Hi! Thanks for reading! Please give your comment here..
Mohon maaf link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya