Hari yang ditunggu sudah tiba. Ya, hari-hari dimana saya
lepas dari kuliah profesi ners. Meskipun memang sih, belum resmi juga jadi
ners. Akan tetapi, perasaan yang melegakan ini pun muncul ibarat mata air di
tengah hutan karena memang pada dasarnya mata air itu sudah ada di lokasi yang
benar hanya menunggu saatnya tiba memberi manfaat (Halah, apa coba).
Niatnya sih, cerita ini ingin menceritakan tentang berbagai
rasa, asa dan tantangan selama enam bulan ke belakang. Tepatnya, sejak awal
bulan Januari 2012. Awal dari gerbong baru dan sisa gerbong-gerbong setelahnya.
Mari kita mulai..
Januari hingga Februari saya berjuang di komunitas RW siaga
di daerah Pasir Gunung Selatan, Cimanggis, Depok. Dalam komunitas ada banyak
hal baru dan hikmah yang saya temukan. Saya dapatkan betapa besarnya peran
ibu-ibu rumah tangga yang luar biasa ini untuk kemajuan kesehatan warganya. Ya,
ibu RW siaga, ibu RT dan ibu Kader kesehatan di RW yang saya dan teman-teman
kelola.
Para ibu ini merupakan orang-orang terbaik yang dimiliki
masyarakat. Ibu pejuang tidak hanya untuk keluarga apalagi dirinya sendiri
tetapi berjuang untuk masyarakat di sekitar. Hal ini menyadarkan saya betapa
Rasulullah telah mengingatkan “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat”. Dan
ya, para ibu ini telah memberikan manfaat untuk kehidupan sesama manusia.
Sungguh mulia semua yang diberikan beliau-beliau. Tak ada balasan atas kebaikan,
melainkan kebaikan pula.
Saya belajar bagaimana melakukan pendekatan dengan
masyarakat dan para tokoh atau pejabat di RW. Saya pun belajar menghadapi
perilaku komunitas dan responnya terhadap masalah, kehadiran saya (yang sedang
berperan sebagai calon petugas kesehatan) dan juga motivasi untuk sehat dari
masyarakat sendiri. Tak hanya kemudahan, tentulah saya temui juga beberapa
kesulitan. Kesulitan untuk beradaptasi dengan kondisi masyarakat yang unik dan
plural, kesulitan menyatukan pendapat puluhan orang, kesulitan mencari ide
kegiatan yang kreatif dan juga kesulitan memotivasi warga untuk turut serta
dalam kegiatan yang kita rencanakan.
Inilah uniknya keperawatan komunitas, kamu menghadapi klien
berisiko untuk sakit, apapun jenis sakitnya, berapapun usianya. Saya harus bisa
menghadapi klien dengan masalah penyakit dalam, ibu hamil, lansia dan juga
kematian (intinya semua cabang ilmu keperawatan). Berasa aja udah jago semua
ilmu, tetap harus baca ulang lagi lah saya, hee.. harus multi-talented kalo
jadi perawat komunitas. Well, yeah I did it! Selain itu juga saya dapatkan hal
lainnya mengenai keluarga dan orang tua. Hal ini juga turut mengisnpirasi saya
dan menambah nilai-nilai kehidupan yang baik untuk diri saya ini.
Dalam keluarga saya temukan banyak keindahan, tawa dan
kabahagiaan. Tak jarang juga saya jadi tempat curhat-nya ibu-ibu ini tentang
perilaku anak-anak mereka yang terkadang menyebalkan, bikin kesal tapi juga
sering membawa kebahagiaan dan hal lucu dalam rumah. Bertemu pasangan hidup,
menikah dan memiliki keluarga adalah impian setiap gadis seperti saya (I
guess). Lalu, disinilah terlihat dalam nyata-senyata-nyatanya bahwa membangun
keluarga, merawat suami dan anak-anak bukanlah hal mudah bagi seorang wanita.
Surely, its need a lot of energy and with love there’s always extra and enough
energy to do all. Hal ini membuat saya terharu sekali dan berpikir ulang mengenai
keinginan saya menikah kala itu (usia 22, di tahun 2012). Apakah saya
benar-benar telah siap untuk menghadapi pernikahan, proses sebelumnya bahkan
pasca menikah nanti? Ya, disinilah lagi saya belajar menjadi lebih dewasa. Ya,
dengan cara yang Allah berikan. Again, yaa.. segalanya dihubungkan lagi ke hal
satu itu (baca: nikahan). Ohoho.. ya beginilah galau spiritual anak manusia :P
tapi emang bener kan semua mau berkeluarga? Ayo ngaku yang gak mau? Pasti
enggak ada-lah.
The next insight I got there, was about old family. If I was
told in the first it’s about beginning or nuclear family, now I want to talk
about elderly family. Ya, keluarga dalam tahap perkembangan lansia dengan
pasangan yang memasuki masa pension atau salah satu pasangan meninggal. Keluarga
lansia yang saya kelola memiliki sekitar 5-6 orang anak yang semuanya telah
berkeluarga. Sang kakek dan nenek tinggal bersama anak perempuannya. Anak-anak
lainnya tinggal di rumah yang juga berdekatan, sekitar kurang dari 10 meter.
Sang kakek sudah terkena demensia karena usia tuanya, sedangkan nenek memiliki
riwayat post stroke, hipertensi dan gangguan berjalan.
Setiap hari, Ibu (anak perempuannya) merawat keduanya,
selain merawat pula dua orang anak yang usia sekolah. Di rumah sederhana tapi
penuh kepeduliannya didalamnya, saya diterima dengan baik sekali. Ibu pun
bercerita kondisi kakek yang pikun dan lupa apapun, bahkan istrinya sendiri.
Kakek mengatakan nenek adalah temannya. Nenek sudah mengerti kondisi kakek yang
pikun dan tetap membantu mengurus kakek bersama anaknya. Dan kamu tahu
demensia? Sebuah gangguan yang menyebabkan kamu lupa apapun itu, orang lain,
keluarga, makan, buang air dan bahkan dirimu sendiri. Betapa terharunya saya
melihat bakti sang ibu pada kakek dan nenek (kedua orang tua kandungnya). Tetap
dengan baik mau membantu memenuhi kebutuhan sang kakek dan nenek walau dia pun
dalam kondisi yang tidak selalu menyenangkan. Padahal saat saya tanyakan,
anak-anak lain bagaimana? Apakah mau mengurus kakek/ nenek secara bergantian?
Akan tetapi, sebuah jawaban yang mengejutkan saya dapat dari ibu. “anak lainnya
enggak mau ngurusin, mencium bau kakek defekasi/ mikturisi sembarangan aja di
sini udah jijik, geli dan mau muntah katanya”. Allah, betapa sungguh kasih
sayang anak hanya sepenggalan pada orang tuanya. Ini membuat saya berpikir
lagi, jauh merasuk dalam otak dan memori memberikan pelajaran, apapun yang
terjadi pada ibu ayah saya nanti, saya akan tetap mengurusnya ya, merawat dan
memenuhi kebutuhan hidup tak sudah tak bisa dipenuhi sendiri.
Sungguh, tidak ada maksud menghakimi anak yang tidak mau
peduli dengan orang tuanya sendiri, tetapi kemanakah isi hati mereka? Tidakkah
teringat jasa ibu dan bapak mereka? Siapa yang mengurus hingga mereka bisa
sukses seperti sekarang ini jika bukan karena orang tua? Allah, sungguh aku
mohon untuk memasukkan aku menjadi orang yang berbakti pada ibu bapaknya hingga
di akhir hayat mereka. Bahkan lebih dari itu, tetap mendoakan keduanya hingga
setelah maut menjemput.
Kejadian ini membuat lagi, pikiran saya terkoneksi dengan
satu rencana masa depan: menikah. Why? Marriage things again?? Yes, because we
talk about family which is begin with marriage, isn’t it? Kelak nanti jika saya
menikah bisakah saya tetap berbakti pada ibu bapak saya? Dan akankah suami saya
juga dapat mencintai kedua orang tua saya seperti dia mencintai orang tuanya?
Dan apakah bisa jika nanti tua saya mengurus kedua orang tua saya? Tentulah,
pertanyaan ini saya harus dapatkan jawabannya selagi ada sumber-sumber hidup
(guru ngaji, pengalaman teman, dll). Okelah, masih bisa kok berbakti pada orang
tua karena bakti itu tak hanya bermakna sempit pada melakukan perintah orang
tua, mendoakan, memberikan sebagian nafkah juga bentuk bakti yang lain.
Baiklah, berarti selanjutnya akan bergantung pada sang calon
suami yang seperti apakah pandangannya mengenai bakti pada orang tua. Jadi,
nanti pada saat memilih suami hal berbakti pada ortu (ortu dia maupun kita)
harus dipertanyakan. Karena jangan sampai berbaktinya kita pada suami hingga
membuat kita lupa berbakti pada orang tua kita. Sungguh baik jika dia pun orang
yang juga dapat mengerti dan diajak peduli bersama mengenai orang tua kita
(aiih.,, beraatnya). Okay, I got the point!
Ya, baiklah itu semua cerita selama di komunitas ya, masih
ada cerita lanjutannya di panti werdha Cipayung. Okay, sambung lagi nanti.
originally done at 23rd July 2012
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Hi! Thanks for reading! Please give your comment here..
Mohon maaf link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya